Oleh: HB. Hasan
OPINI (JURNALIS INDONESIA) – Saya selalu takjub dengan aktivis yang pandai menulis. Bukan karena saya kurang suka terhadap aktivis yang hanya jago berorasi. Tidak sama sekali.
Alasannya lebih kepada iman saya pada sebuah adagium bahwa “tulisan akan abadi, sedang ucapan akan mudah berlalu bersama perubahan arah angin musiman”.
Antologi puisi karya Qudsiyanto, Senandung Rakyat Merdeka, Luapan Rasa Pemuda Desa, dalam kacamata khadratusy syaikh (baca: begawan) puisi asal Sumenep yang tersohor di seantero nusantara, Pak De Zawawi Imron, patut disimak.
Bukan karena apa-apa. Ini lebih karena lontaran kritikannya yang tajam saat sesi bedah buku senandung rakyat merdeka di Java In Sumenep (20/11). Beliau secara gamblang memaparkan bagaimana seharusnya ritual menulis puisi dijalankan oleh seorang pemula.
Bukan seperti menulis berita atau menulis jurnal, katanya. Menulis puisi memerlukan penghayatan mendalam, butuh kepekaan, perlu banyak membaca dan mampu melengkapi diri dengan segudang perbendaharaan kosa kata.
Walaupun, seperti diungkap Pak De Zawawi, faktor bakat alamiah yang dititipkan Tuhan dalam gen seorang manusia sejak dalam rahim, akan tetap menjadi faktor paling dominan yang akan menentukan stempel kesastrawanan seseorang.
Oleh sebab alasan tersebut, ketika saya bertanya kepada Pak De “mungkinkah akan lahir Zawawi Imron berikutnya di Sumenep”. Spontan ia menjawab: Mustahil. Sebab, Zawawi Imron tak mungkin difoto copy atau di copy paste. Seketika itu, saya menjadi sangat khawatir.
“Masak begitu pak De”, saya segera menimpali pernyataannya. Seolah saya tak percaya sekaligus tak terima dengan ucapannya. Masak iya, tak akan bisa lagi Sumenep melahirkan penyair sekelas anda, Pak De.
Memang, jika direnungkan pesimisme Pak De Zawawi itu bukannya tanpa alasan. Apa yang diutarakannya bukan berdasar pengalaman sepintas. Paling tidak, saat ini, semua mata dapat menyaksikan situasi kehidupan kesusasteraan Nasional yang memprihatinkan.
Saya pun dapat merasakan dan menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri, Qudsiyanto melahirkan karya pertamanya dalam situasi yang serba sulit.
Pertama, keterbatasan ruang ekspresi dan publikasi untuk karya-karya sastra lokal. Ini bukan soal sepele. Sebab, sebagus apapun sebuah karya tanpa ditopang dengan ketersediaan ruang ekspresi yang memadai maka akan sulit karya itu dikenal publik dan diperbincangkan untuk kemudian diakui sebagai sebuah karya otentik.
Kedua, keterbatasan dukungan fasilitas penerbitan dan penerjemahan karya sastra. Jangankan berbentuk buku, dalam bentuk papan pengumuman di ruang-ruang publik saja nyaris tak dijumpai. Padahal, setiap karya yang gagal tampil diruang publik maka ia akan kehilangan momentum. Tak ada feedback atas karya.
Ketiga, minimnya penghargaan publik atas karya sastra, khususnya karya-karya pemula di tingkat lokal. Faktanya, seorang pengarang, seperti Mas Qudsi, harus pontang-panting sendiri untuk meneguhkan eksistensi lewat karya-karyanya. Yang memiliki koneksi dan jaringan, tentu tak begitu sulit. Tetapi bagi pemula yang ngopinya kurang jauh, tentu ini akan menjadi runyam.
Namun, harus segera saya katakan bahwa analisis terhadap faktor-faktor penghambat atas kemajuan kesusasteraan tersebut diatas, bisa saja berbeda dengan kota-kota lain di luar Madura. Lain lubuk lain ikannya. Nah, ini yang menarik.
Sebab, sejauh pengamatan saya, karya-karya terbaik dari seorang Zawawi Imron, misalnya, justru lebih banyak mendapat apresiasi dan lebih sering dipakai sebagai rujukan atau dipakai sebagai obyek penelitian oleh sastrawan atau sarjana sastra di luar Madura.
Walau kenyataannya demikian, saya (harus) tetap optimis. Apa yang ditorehkan Qudsiyanto lewat karya perdananya, paling tidak bisa menyalakan api yang secara perlahan akan membakar semangat pemuda-pemuda seusianya untuk berkarya.
Seperti pernah dinyatakan Albert Camus, seorang penulis asal Prancis: bercelotehlah dalam tulisan yang akan mengabadikanmu.