Oleh: HB. HASAN
EFISIENSI menjadi istilah paling viral belakangan ini. Penyebabnya adalah Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025. Sebagai presiden terpilih, Prabowo Subianto di awal masa pemerintahannya memilih tagline besar: efisiensi.
Alhasil, keputusan berani mantan Danjen Kopassus tersebut diterjemahkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan cara memangkas anggaran kementerian dan lembaga. Pemerintah daerah di seantero negeri telah ancang-ancang melakukan hal serupa.
Sampai di sini, kita semua bisa memahami bahwa definisi efisiensi versi pemerintah pusat tak kurang dan tak lebih tersebut equivalent dengan pemangkasan anggaran. Buktinya, beberapa pos anggaran dari kementerian dan lembaga yang selama ini ditengarai menjadi biang kebocoran dan pemborosan telah diamputasi.
Sayangnya, implementasi kebijakan efisiensi yang dikomandani oleh menteri keuangan itu memicu reaksi. Terjadi gelombang protes massal melalui simbolisasi gerakan aksi unjuk rasa mahasiswa di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia.
Kami akhirnya bertanya-tanya. Ada apa gerangan? Mengapa kebijakan populis itu direspons negatif? Apa karena komunikasi publik yang buruk dari para pembantu presiden hingga terjadi kesalahpahaman massal? Atau keputusan pemangkasan anggaran itu dilakukan tanpa visibility studies yang memadai hingga memicu penolakan?
Kamis (20/2) sebanyak 961 kepala daerah dilantik secara serentak di Istana Negara. Ini sejarah baru dalam pelantikan kepala daerah, khususnya bagi para bupati dan wali kota.
Aura kebahagiaan terpancar dari para gubernur, bupati, dan wali kota dalam momen itu. Para pendukung dan tim hore semua bersorak. Kami pun turut bersukacita. Pengorbanan waktu, tenaga, dan pikiran mereka saat kontestasi pilkada seolah terbayar lunas.
Tetapi kemudian, ada hal yang menggangu pikiran saya. Bukankah setelah pelantikan itu para gubernur, bupati, dan wali kota harus menerjemahkan kata efisiensi? Mereka tak punya pilihan lain. Harus melaksanakan instruksi presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Nah, ini yang agak rumit. Walaupun tak terlalu ruwet. Tetapi, pikiran skeptis saya berujung pada pertanyaan: ”Bagaimana dengan janji politik para kepala daerah pasca pelantikan itu? Sebab, di saat yang sama mereka harus memangkas anggaran?”
Tentu, para kepala daerah akan menghadapi kesulitan untuk memenuhi janji-janji kampanyenya. Mereka akan pusing tujuh keliling. Di satu sisi, mereka harus patuh pada instruksi presiden sebagai kepala pemerintahan. Namun, di sisi lain mereka harus memenuhi janji politik dan yang pasti memerlukan dukungan APBD.
Namun, ini bisa menjadi alternatif solusi jika definisi efisiensi itu diletakkan dalam kerangka otonomi daerah. Kita tahu, otonomi daerah secara absah diakui oleh konstitusi dan divalidasi oleh undang-undang pemerintahan daerah.
Implikasinya, pemerintah daerah diberi keleluasaan untuk mengalkulasi efisiensi itu sesuai kebutuhan masing-masing. Tidak harus seragam. Anggaran apa saja perlu dipangkas dan tak mungkin dipangkas. Pertimbangannya adalah perbedaan karakteristik persoalan dan kebutuhan yang dihadapi dan diperlukan tiap daerah.
Saya yakin, manakala rencana kebutuhan pemangkasan anggaran itu diserahkan pada kebijaksanaan daerah dengan prinsip bottom up, maka ketegangan hubungan pusat dan daerah dapat dihindarkan. Wallahu A’lam.