Oleh : Hasan Basri, S.H
OPINI (JURNALIS INDONESIA) – Dalam kehidupan sehari-hari manusia secara individu maupun kolektif hampir tidak bisa dilepaskan dari tugas-tugas untuk menyatakan pikiran secara argumentatif. Misalnya orang tua yang melarang anaknya untuk tidak berperilaku boros. Si orang tua tentu saja tidak hanya akan mengucapkan kalimat pelarangan. Namun juga akan memberikan alasan-alasan mengapa si Anak dilarang hidup boros. Si orang tua akan mengatakan perilaku hidup boros merupakan perilaku yang tidak baik karena bertentangan dengan perilaku hidup sederhana.
Demikian pula dalam penyelenggaraan pemerintahan yang tak jauh berbeda. Misalnya seorang kepala bagian mewajibkan seluruh stafnya untuk masuk dan pulang kantor dengan tepat waktu. Pemberian kewajiban tersebut, pasti didasarkan kepada pertimbangan bahwa perilaku disiplin waktu masuk dan pulang kantor menjadi modal utama untuk menyelesaikan tugas-tugas dengan tepat waktu pula.
Jadi larangan hidup boros dari orang tua kepada anak maupun kewajiban disiplin waktu bagi karyawan kantor secara eksistensial berfungsi sebagai nilai dan norma yang dibutuhkan. Norma yang akan dipakai sampai kapanpun. Bukan saja karena sifatnya universal, tetapi juga secara alamiah telah menjadi kebutuhan peradaban umat manusia.
Dalam perkembangannya, hubungan antar manusia dalam kehidupan bernegara menjadi semakin kompleks. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan jumlah penduduk, kemajuan pendidikan dan kebudayaan serta pesatnya perkembangan teknologi informasi. Faktor ini yang menyebabkan cara berkebudayaan manusia terus mengalami perubahan. Demikian pula halnya dengan beragam pelanggaran dan kejahatan terus meningkat kuantitasnya.
Sayangnya, perkembangan hukum positif seringkali terlambat untuk mengantisipasi beragam pelanggaran dan kejahatan. Hal ini sudah tentu memerlukan berbagai terobosan yang dapat dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan, baik bagi aparat penegak hukum maupun para pengambil kebijakan. Dengan kata lain, diperlukan terobosan baru dalam praktik penyusunan argumentasi hukum yang berguna sebagai langkah antisipasi terhadap beragam pelanggaran dan kejahatan baru yang terjadi di luar hukum positif yang telah ada. Konkretnya, terobosan baru ini berupa perkecualian atas asas legalitas sehingga pemberlakuan asas retroaktif dapat disepakati sebagai paradigma baru dalam dunia penegakan hukum.
Argumentasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan. Ketika pengertian argumentasi tersebut diletakkan dalam konteks hukum maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa argumentasi hukum merupakan penyusunan alasan-alasan berdasarkan hasil penalaran atas suatu peristiwa hukum, landasan hukum dan teori-teori hukum.
Dari pengertian argumentasi hukum tersebut dapat ditentukan bentuk-bentuk argumentasi hukum khususnya dalam konteks peradilan seperti putusan hakim pidana, perdata dan tata usaha negara. Dalam kaitannya dengan bentuk argumentasi hukum ini pula, maka asas retroaktif dapat diberlakukan sebagai sebuah terobosan hukum dalam rangka mengantisipasi kompleksitas perubahan zaman yang diiringi dengan semakin beragamnya jenis kejahatan ditengah-tengah masyarakat.
Asas Retroaktif
Asas retroaktif merupakan lawan dari asas legalitas yaitu asas tentang batas berlakunya hukum pidana dari segi waktu. Menurut asas legalitas tidak ada perbuatan pidana atau juga tidak ada pidana kecuali atas dasar kekuatan peraturan yang telah mengaturnya, sebelum perbuatan tersebut dilakukan (Moeljatno, 1987:25).
Asas legalitas merupakan asas utama yang digunakan dalam penerapan peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam KUHAP pasal 1 ayat (1) yang berbunyi suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Oleh karena itu, dapat dijelaskan bahwa asas retroaktif adalah asas tentang pemberlakuan hukum pidana yang berlaku surut. Dengan kata lain perbuatan seseorang sebelum adanya aturan dan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dapat dijerat dengan hukum yang dikeluarkan setelah perbuatan tersebut dilakukan.
Dalam praktik hukum internasional penerapan asas retroaktif ini baru terbatas pada tindak pidana pelanggaran HAM berat sebagaimana tercantum dalam International Military Tribunal Nurenberg Tahun 1946, InternationalCriminal Tribunal for Rwanda dan International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia. Pemberlakuan asas retroaktif tidaklah secara mutlak dapat diterapkan tanpa dasar-dasar pertimbangan yang cukup. Hukum internasional hanya memberlakukan asas retroaktif terbatas pada kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang tergolong pada kejahatan kemanusiaan dengan dasar-dasar sebagai berikut :
- Penerapan asas non retroaktif (asas legalitas) hanya berlaku bagi kejahatan biasa atau ordinary crime yang terjadi di wilayah hukum suatu negara, sehingga untuk kejahatan HAM berat yang tergolong dalam kejahatan extra ordinary crime dapat diberlakukan asas retroaktif.
- Asas retroaktif tidak berlaku bagi para pelaku pelanggaran HAM berat sebagai extra ordinary crimes jika telah ada peraturan hukum humaniter internasional yang mengatur dan diterima oleh hukum suatu negara. Artinya telah ada perundang-undangan yang mengatur sebelum perbuatan tersebut dilakukan.
- Telah terjadi yurisprudensi dalam International Military Tribunal Nurenberg Tahun 1946, International Criminal Tribunal for Rwanda dan International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia.
Yurisprudensi internasional yang menjadi dasar berlakunya asas retroaktif bagi pelanggaran HAM berat pada awalnya dapat dipahami sebagai bentuk diskresi atas asas legalitas (asas non retroaktif). Pertimbangan hakim pengadilan internasional didasarkan pada Universal Declaration of Human Right (UDHR) terkandung beberapa prinsip hak asasi manusia yang berlaku secara umum, antara lain sebagai berikut :
- Principle of inviolability, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap individu mempunyai hak untuk dihormati jiwanya, integritasnya baik fisik maupun moral dan atribut-atribut yang tidak dapat dipisahkan dari personalitasnya;
- Principle of non discrimination, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap individu berhak untuk mendapatkan perlakuan yang sama tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, ras, suku bangsa, status sosial dan lain sebagainya;
- Priciple of security, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap individu berhak untuk mendapatkan perlindungan keamanan dan seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas suatu perbuatan yang tidak dilakukannya;
- Principle of liberty, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk menikmati kebebasan individu atau kemerdekaan;
- Principle of sosial well being, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk menikmati kondisi kehidupan yang menyenangkan (nyaman tanpa ada gangguan.
Substansi dari perlindungan terhadap hak asasi manusia adalah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan, yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Oleh karena itu pemenuhan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia harus diikuti dengan pemenuhan terhadap kewajiban asasi manusia dan tanggungjawab asasi manusia dalam suatu kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara. Jika ketiga unsur tersebut tidak seimbang dapat dipastikan akan menimbulkan kekacauan, ketidakadilan, pelanggaran-pelanggaran sampai dengan anarkisme dan kesewenang-wenangan.
Seiring dengan perkembangan paradigma hak asasi manusia di dunia, maka instrumen-instrumen penegakan HAM juga berkembang, instrumen-instrumen untuk menjamin penegakan HAM yang berupa perjanjian internasional, konvensi dan deklarasi tidak hanya terfokus pada HAM secara umum akan tetapi muncul instrumen-instrumen khusus dalam HAM, misalnya instrumen tentang pencegahan diskriminasi, penentuan nasib sendiri, Administrasi Peradilan Penahanan dan Penganiayaan, Hak-Hak Politik dan Sipil Wanita dan lain sebagainya.
Dalam sejarah perjalanan demokrasi di Indonesia instrumen HAM berkembang seiring dengan rezim yang berkuasa pada saat itu. Pada masa orde baru, demokrasi belum berjalan dengan baik seperti kebebasan mengemukakan pendapat dimuka umum, kebebasan pers maupun kebebasan dalam organisasi dan sebagainya.
Dalam konteks perlindungan HAM dari bentuk-bentuk kejahatan yang semakin canggih dan beragam, maka terobosan baru berupa pemberlakuan asas retroaktif menjadi penting dengan fungsi utama sebagai langkah antisipatif terhadap pembaharuan hukum positif di Indonesia yang cenderung lebih lambat dibandingkan dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi yang memengaruhi pola hidup setiap warganegara.