Oleh : Ahzam Habas
OPINI (JURNALIS INDONESIA) – Saya takjub dengan pilihan Bupati Sumenep Achmad Fauzi Wongsojudo saat menggelar festival rujak beberapa pekan lalu.
Rujak, anda tahu, makanan tradisional yang familiar di lidah warga Sumenep sejak zaman dulu. Penyebaran jenis kuliner bernama rujak ini nyaris merata di tiap kecamatan.
Komposisi olahannya pun terbilang sederhana. Hanya kacang dan lontong ditambah sayuran. Dijual diwarung-warung pinggiran dan para penjualnya rata-rata berasal dari keluarga tak berkecukupan.
Mengapa (harus) festival rujak. Padahal, banyak jenis kuliner kekinian seperti mie gacoan, pizza hut atau mixue yang saat ini sedang hits, misalnya, di Pamekasan.
Anda tahu, milenial disana, saat ini, rela berdiri berdesak-desakan untuk membeli makanan itu. Tiba-tiba mereka mau bersabar menunggu dalam antrian panjang mengular.
Padahal susah, saya kira, bagi generasi sekarang yang umumnya bergaya hidup serba ingin cepat dan instan untuk tertib antri. Tapi, demi kuliner itu, mereka rela berbaris rapi menunggu giliran.
Belum lagi antrian yang tampak di mall, cafe dan tempat hiburan yang sedang hits di seputaran Surabaya dan Malang tiap akhir pekan. Mereka tak pernah hilang nyali untuk urusan healing, shoping dan kulineran.
Pada akhirnya, kita seperti sedang menyaksikan atau bahkan mengalami sebuah fase yang mengarah kepada perubahan budaya. Memang tak bisa dimungkiri perkembangan dunia kuliner telah mempengaruhi pola hidup kita.
Sekarang pertanyaan yang berkelindan dibenak saya, setelah festival rujak itu, kita ini mau ngapain. Bupati telah memberi ruang kepada para pelaku usaha kecil, seperti penjual rujak, untuk tumbuh berkembang, berdampingan dengan para pelaku usaha kuliner kekinian.
Bisakah kita mengembangkan sesuatu yang telah dimulai oleh Bupati?
Ini pekerjaan rumah yang bisa saja mudah atau sebaliknya sulit dirampungkan.
Menjadi mudah, jika kita punya effort, sensitivitas dan skill. Menjadi sulit, jika kita hanya menunggu dan menunggu even tahunan. Setelah usai, semuanya seolah sirna tanpa bekas dan seperti kembali lagi ke pengaturan awal.
Padahal banyak hal yang telah dimulai oleh Bupati Sumenep saat ini. Hanya persoalannya, acapkali kita ini seperti anak ayam kehilangan induk.
Maka, tak berlebihan jika saya menduga bahwa kita sejatinya belum mampu menerjemahkan legacy Bupati disegala urusan. Kita tidak serius berpikir dan cenderung bekerja autopilot (baca:kareppa tibik).
Akhirnya, Bupati (seperti) bekerja sendirian. Tanpa mengenal lelah terus turun ke bawah. Menyelesaikan kemacetan Talango, mempromosikan wisata, memediasi konflik Gresik Putih, mendengar keluhan petani tembakau seraya mengupayakan penyelesaiannya.
Namun demikian, saya masih optimis. Sebab, yang kelihatan bengkok memang harus diluruskan. Yang telah tegak lurus, kita dorong bersama agar terus melaju untuk Sumenep yang lebih maju.
Catatan: Seluruh isi tulisan merupakan tanggungjawab penulis sepenuhnya.