Menu

Mode Gelap
KSOP Kalianget Siapkan 11 Kapal untuk Layani Penumpang Selama Nataru STISA Pamekasan Madura Sukses Gelar Wisuda Ke-V Kodim Pamekasan-Pemuda Tani Indonesia Tanam Padi Dukung Ketahanan Pangan Serda Syaiful Anam Terlibat Langsung dalam Giat Pertanian Bajak Sawah Milik Warga Kodim Pamekasan Gelar Upacara Persemayaman dan Pemakaman Jenazah Almarhum Koptu Khoirudin

OPINI · 29 Jun 2024 12:12 WIB

Upaya Memformulasikan Judicial Restrain dalam Hukum Positif di Indonesia


 Upaya Memformulasikan Judicial Restrain dalam Hukum Positif di Indonesia Perbesar

Oleh: Hasan Bashri, SH

(Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya)

Judicial restraint dikenal sebagai sebuah prinsip dalam hukum konstitusi yang mengharuskan hakim pengadilan lebih berhati-hati dan menahan diri dalam mengeluarkan putusan pembatalan undang-undang atau pengubahan kebijakan yang dibuat oleh badan legislatif atau eksekutif.

Konsep judicial restrain ini mulanya berkembang di Amerika misalnya dalam kasus Korematsu vs United State pada tahun 1944 dimana pengadilan agung menunjukkan judicial restrain dengan menghormati kebijakan eksekutif yang memerintahkan interniran orang Jepang-Amerika selama Perang Dunia II meskipun kebijakan tersebut kontroversial dan dianggap melanggar hak-hak individu.

Kemudian kasus Lochner vs New York pada tahun 1905 meskipun ini contoh dari judicial activism tetapi kemudian menunjukkan pergeseran menuju judicial restrain dengan menghormati undang-undang yang mengatur kondisi kerja.

Kemudian contoh kasus national federation of independent bussiness vs Sebelius pada tahun 2012 dimana hakim agung Julia Robert menerapkan judicial restrain dengan mendukung konstitusionalitas mandat individu dalam Undang-Undang Perlindungan Pasien dan Perawatan Terjangkau (Obamacare) menyatakan bahwa mandat tersebut bisa dianggap sebagai pajak yang sah di bawah kewenangan kongres.

Tiga contoh diatas memberikan gambaran bahwa hakim pengadilan di Amerika telah menerapkan judicial restrain sejak lama untuk menghormati dan mengikuti preseden yang ada serta memberikan otoritas yang lebih besar kepada pembuat kebijakan terpilih untuk menentukan kebijakan publik.

Sementara di Indonesia penerapan judicial restrain dapat dianalisis dari data putusan uji materi yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Misalnya, detik.com pada tanggal 24 Mei 2023 (https://news.detik.com/berita/d-6736080/15-permohonan-judicial-review-uu-dikabulkan-mk-sepanjang-2022) memberitakan MK menerima 143 permohonan judicial review UU sepanjang Tahun 2022. Sebanyak 124 perkara telah diputus dan 15 yang dikabulkan.

Dari 121 perkara pengujian undang-undang terdapat 104 pengujian materiil, 11 uji formil dan 6 perkara merupakan pengujian formil materiil. Jika dikelompokkan berdasar amar putusan, maka perkara pengujian undang-undang pada tahun 2022 dapat dirinci 15 putusan dikabulkan, 48 putusan ditolak, 42 tidak dapat diterima, 18 putusan ditarik kembali dan 1 putusan dinyatakan gugur. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi belum sepenuhnya menerapkan judicial restrain. Masih terdapat putusan yang membatalkan atau mengubah UU sebagai produk hukum dari lembaga legislatif dan eksekutif.

Kelebihan Judicial Restrain

Penerapan judicial restrain oleh hakim dalam memeriksa perkara uji materi minimal akan membawa 5 (lima) dampak positif, antara lain :

  1. Judicial restraint menghormati prinsip pemisahan kekuasaan dengan mengakui bahwa pembuatan undang-undang adalah tugas utama legislatif dan pelaksanaan undang-undang adalah tugas eksekutif. Dengan demikian, pengadilan tidak terlalu terlibat dalam proses politik.
  2. Dengan menahan diri dari mengubah atau membatalkan undang-undang kecuali dalam kasus yang sangat jelas, judicial restraint membantu menciptakan stabilitas hukum. Ini memberikan kepastian bagi masyarakat dan pelaku bisnis mengenai apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak.
  3. Judicial restraint mencegah hakim dari bertindak sebagai legislator atau pembuat undang-undang. Ini membantu memastikan bahwa perubahan signifikan dalam hukum hanya terjadi melalui proses legislatif yang demokratis.
  4. Dengan menghindari pembatalan undang-undang yang telah disahkan oleh badan legislatif terpilih, judicial restraint menghormati keputusan yang diambil oleh wakil rakyat. Ini memperkuat legitimasi dan kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
  5. Dengan fokus hanya terhadap kasus-kasus yang benar-benar membutuhkan intervensi yudisial, judicial restraint dapat membantu mengurangi beban kerja pengadilan. Ini memungkinkan pengadilan untuk lebih efisien dalam menyelesaikan kasus-kasus yang memerlukan perhatian mendalam.

Secara keseluruhan, judicial restraint memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dalam sistem pemerintahan dan memastikan bahwa perubahan hukum terjadi melalui proses yang tepat dan sah.

Kelemahan Judicial Restrain

Meskipun judicial restraint memiliki beberapa kelebihan, ada juga beberapa kelemahan yang bisa timbul dari penerapannya. Berikut adalah lima kelemahan dari judicial restraint:

  1. Menghambat pengadilan dari mengambil tindakan yang diperlukan untuk melindungi hak-hak individu. Jika legislatif atau eksekutif melanggar hak-hak konstitusional, pengadilan yang menahan diri mungkin tidak memberikan perlindungan yang cukup. Dengan terlalu menghormati undang-undang yang ada dan menghindari interpretasi yang lebih dinamis, judicial restraint bisa menyebabkan hukum menjadi kaku dan tidak responsif terhadap perubahan sosial dan kebutuhan zaman.
  2. Judicial restraint menempatkan kepercayaan yang besar pada proses politik untuk memperbaiki undang-undang yang tidak adil atau tidak konstitusional. Namun, proses politik sering kali lambat dan dipengaruhi oleh berbagai kepentingan yang bisa menghambat reformasi yang diperlukan.
  3. Hakim yang terlalu terikat pada doktrin judicial restraint mungkin merasa enggan untuk mengeksplorasi interpretasi hukum yang inovatif atau progresif. Hal ini dapat membatasi kemampuan pengadilan untuk mengembangkan hukum dengan cara yang mencerminkan nilai-nilai dan kebutuhan masyarakat kontemporer.
  4. Judicial restraint dapat membuat pengadilan terlalu konservatif dan resistif terhadap perubahan. Dalam situasi di mana perubahan hukum diperlukan untuk menanggapi isu-isu baru atau mengatasi ketidakadilan yang ada, pengadilan yang mempraktikkan judicial restraint mungkin tidak memberikan respons yang memadai.
  5. Meskipun judicial restraint dapat menjaga stabilitas dan menghormati pemisahan kekuasaan, ia juga dapat menghambat perlindungan hak asasi, adaptasi hukum terhadap perubahan zaman, dan respons cepat terhadap ketidakadilan dalam masyarakat.

Dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan dari implementasi judicial restrain maka upaya untuk memformulasikannya dalam hukum positif di Indonesia, sesungguhnya bukan hal yang tabu. Walaupun dalam upaya tersebut memerlukan langkah-langkah strategis dan terencana dengan mempertimbangkan konteks hukum dan budaya politik Indonesia. Berikut adalah beberapa upaya yang dapat dilakukan:

  1. Meningkatkan pemahaman tentang konsep judicial restraint di kalangan mahasiswa hukum, praktisi hukum, dan hakim melalui kurikulum pendidikan hukum yang komprehensif. Dapat melalui seminar, lokakarya, dan diskusi panel yang membahas kelebihan dan kelemahan judicial restraint serta penerapannya dalam sistem hukum Indonesia.
  2. Memasukkan prinsip-prinsip judicial restraint dalam undang-undang yang mengatur fungsi dan wewenang pengadilan, seperti Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Merumuskan pedoman atau kode etik bagi hakim yang menekankan pentingnya judicial restraint dalam pengambilan keputusan.
  3. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan putusan-putusan yang memuat penekanan pada pentingnya judicial restraint, dengan memberikan preseden bagi pengadilan di bawahnya. MK dapat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap hakim-hakim agar mematuhi prinsip-prinsip judicial restraint dalam menjalankan tugasnya.
  4. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya judicial restraint untuk menjaga stabilitas hukum dan menghindari aktivisme yudisial yang berlebihan. Melibatkan media massa dalam penyuluhan hukum sehingga prinsip-prinsip judicial restraint dapat dipahami secara luas oleh masyarakat.
  5. Bekerja sama dengan lembaga-lembaga hukum internasional dan negara-negara lain yang telah menerapkan judicial restraint untuk belajar dari pengalaman mereka. Mengundang ahli hukum internasional untuk memberikan masukan dan rekomendasi dalam merumuskan dan menerapkan judicial restraint di Indonesia. Melakukan kajian dan penelitian mendalam mengenai penerapan judicial restraint di negara-negara lain dan menyesuaikannya dengan konteks hukum Indonesia. Mengembangkan teori dan praktik judicial restraint yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Konstitusi Indonesia.

Dengan langkah-langkah tersebut, judicial restraint dapat diformulasikan dan diimplementasikan dalam sistem hukum positif Indonesia, sehingga dapat berfungsi secara efektif dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dan stabilitas hukum.

Artikel ini telah dibaca 64 kali

Baca Lainnya

Selamat Hari Anak Sedunia 20 November 2024

20 November 2024 - 10:55 WIB

Di Ujung Purna Bhakti Joko Widodo Tancapkan Pondasi Sejarah Nasional Maupun Internasional dengan Peresmian dan Perayaan HUTRI ke-79 di IKN 2024

21 Agustus 2024 - 17:34 WIB

Mahasiswa Untag Surabaya Optimalkan Potensi Tanaman Cantik Refugia Sebagai Pelindung Sumber Daya Pertanian di Desa Delim

17 Juli 2024 - 17:57 WIB

Perkembangan dan Persiapan Revolusi Industri di Indonesia

20 Maret 2024 - 22:31 WIB

Catatan Bedah Buku Puisi Senandung Rakyat Merdeka

21 November 2023 - 07:30 WIB

Pemberlakuan Asas Retroaktif sebagai Terobosan Baru dalam Penyusunan Argumentasi Hukum

15 September 2023 - 07:00 WIB

Trending di OPINI