MADURA, JURNALIS-INDONESIA.com – Sebuah video viral di Tik Tok, yang memperlihatkan seorang balita berusia 4 tahun bertunangan.
Pemilik akun @taniapesekcz mengunggah beberapa penggalan video, dengan narasi bahwa pertunangan di bawah umur menjadi sebuah adat di Madura.
“Heboh anak 4 tahun di Madura jalani tunangan, tuai pro kontra,” tulis pemilik akun.
Dalam video, terlihat sejumlah tamu undangan, tampak pula ibu-ibu berjalan membawa bingkisan kue lamaran.
Selanjutnya, prosesi pasang cincin yang diduga dilakukan oleh calon mertua balita tersebut. Lalu pengalungan uang pecahan Rp 5000 kepada calon menantu.
“Pas-pas wes cocok,” terdengar suara yang diduga adalah perekam.
Kedua bocah itu kemudian disandingkan di teras rumahnya dengan manis sembari menerima uang penyeppen (istilah Madura yang artinya uang tali asih dari para tamu undangan).
Unggahan itu mendapatkan beragam komentar dari warganet.
“Adat Madura gitukah? kenapa harus dijodohin dari kecil kak?,” tanya pemilik akun @uamfieu.
Sementara itu @nanafirdauz mengatakan bahwa hal semacam itu sudah biasa bagi masyarakat setempat.
“Udah biasa kalau di Madura kek gini,” tulis dia.
Kata Sosiolog
Pertunangan anak di Madura, Jawa Timur yang viral di media sosial, menuai perhatian sosiolog.
Tradisi itu disebut sebagai pelestarian warisan leluhur yang kini kondisinya sudah mulai ditinggalkan.
Pengajar sosiologi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Madura Syukron Ramadhan menjelaskan, leluhur orang Madura memiliki tradisi perkawinan dalam kekerabatan.
Perkawinan antarsepupu dalam satu kerabat, dilestarikan dalam sebuah kompleks perumahan yang disebut dengan pemukiman Tanean Lanjhang (halaman yang memanjang).
“Dulu ketika pemukiman Tanean Lanjhang masih lestari, sudah biasa perkawinan endogami. Bahkan pertunangan anak kecil sudah biasa dilakukan,” terang Syukron Ramadhan saat berbincang pada Kamis (1/9/2022).
Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga Surabaya ini menambahkan, tradisi pertunangan anak di Madura tidak hanya terjadi di Bangkalan, tapi juga di tiga kabupaten lainnya yakni Sampang, Pamekasan dan Sumenep.
Pertunangan anak dilakukan dengan dua cara.
Pertama, pertunangan dengan cara dirayakan. Misalnya dengan mengundang sanak kerabat lainnya, diiringi dengan sajian makanan dan kue, serta penyerahan cincin emas sebagai tanda pengikat hubungan pertunangan kedua anak.
“Seperti di video yang viral itu, pertunangan dirayakan,” imbuhnya.
Kedua, pertunangan tanpa perayaan. Artinya hanya ikatan janji antara kedua orangtua anak.
Si anak tidak terlibat dalam pertunangan itu. Biasanya, pertunangan seperti ini disahkan ketika kedua anaknya sudah balig.
Pertunangan anak ini, menurut Syukron, memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya bisa mempererat pertalian kekerabatan.
Asal-usul calon keluarga sudah tidak perlu ditelisik lagi. Dampak negatifnya, keluarga dalam pernikahan model endogami ini menjadi eksklusif.
“Kalau pertunangan bisa lanjut ke perkawinan itu tidak ada masalah. Namun jika pertunangan putus, bisa jadi relasi kekerabatan bisa menimbulkan permusuhan dalam keluarga,” ungkap dia.
Ditinggalkan
Kini, pertunangan anak dan endogami perlahan ditinggalkan. Terutama seiring dengan meningkatnya pendidikan masyarakat Madura.
Gesekan dengan lingkungan luar Madura, membuat anak memiliki pandangan sendiri untuk menentukan jodohnya.
“Dulu perjodohan itu hak prerogatif orang tua. Jika menentang perjodohan bisa disebut durhaka diikuti dengan dalil-dalil syariat. Namun di pelosok Madura, endogami masih dipertahankan,” ujarnya.
Menurut Syukron, dalam tradisi endogami di Madura, ada spirit yang hendak dipertahankan.
Pertama, menjaga kualitas keturunan dan genetik dalam keluarga. Biasanya ini dipraktikkan oleh kelompok priyayi. Kedua, menjaga harta dan status sosialnya. Biasanya ini dipraktikkan oleh kelompok bangsawan.
“Ada pertunangan atau perkawinan antara keluarga kiai atau ulama. Kemudian ada kelompok bangsawan yang masih keturunan raja-raja, atau pejabat publik di pemerintahan,” tandasnya.