SUMENEP (JURNALIS INDONESIA) – Kabupaten Sumenep yang terletak di ujung timur pulau Garam Madura diketahui merupakan daerah penghasil migas dengan ketersediaan migas yang cukup melimpah. Namun Kota Keris per-hari ini masih tetap eksis sebagai kabupaten termiskin Nomor Tiga (3) dari 2021-2023 se-Jawa Timur berdasarkan data dari BPS jawa Timur pada Mei 2024.
Atas kondisi ini membuat Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Wiraraja Sumenep mempertanyakan masih beroperasinya Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di Sumenep. Yang diantaranya; Husky-CNOOC Madura Limited (HCML), Medco Energy, Kangean Energy Indonesia (KEI), PT. Energy Mineral Langgeng (EML), dan PT. MGA Utama Energi, yang tetap beroperasi mengkeruk atau mengeksploitasi kekayaan Bumi Kabupaten Sumenep.
“Tapi sampai hari ini memberikan kesimpulan bahwa kegiatan Eksploitasi Migas tidak mampu menopang kesejahteraan masyarakat Kabupaten Sumenep,” kata Alfarisi, Koordinator Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Wiraraja Sumenep mempertanyakan saat menggelar audiensi ke Bagian Perekonomian Setkab Sumenep. Senin (19/8/2024).
Baginya, perusahaan migas yang beroperasi di Kabupaten Sumenep itu dituntut untuk memenuhi tanggung jawab sebagaimana yang disebutkan dalam asas dan tujuan keberadaan migas yang mana termanifestasi dalam bentuk participation interest (PI), CSR, dan Dana Bagi Hasil (DBH).
“Dalam kesejahteraan dalam hal pengentasan kemiskinan ini bisa diminimalisir dengan syarat keterbukaan bagi hasil yang didapat dari Pemerintah Kabupaten Sumenep,” papar dia.
Terkait dengan DBH, CSR, dan PI ini dipertegas dalam UU No. 22 Tahun 2001 pasal 22 ayat 1. Bahwa pemerintah berhak memperoleh bagian dari hasil pengelolaan minyak dan gas bumi, yang terdiri dari bagian yang berasal dari kontrak bagi hasil, Pajak dan/atau retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Bagian dari hasil pengelolaan minyak dan gas bumi lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah.
“Dan ini diselaraskan dalam UU No. 22 Tahun 2001 pasal 31 ayat 6, bahwa “dalam hal penguasaan dan penggunaan fasilitas produksi, badan usaha minyak dan gas bumi yang melakukan kegiatan usaha harus memerhatikan ketentuan yang berlaku dan melaporkan kegiatan usahanya kepada pemerintah serta harus mengutamakan kepentingan nasional yang dimana hal ini berarti setiap hal haruslah dilaporkan bukan hanya perihal data DBH, PI, dan CSR semata,” terangnya.
Kata dia, masyarakat memiliki hak untuk menanyakan dan mengetahui kontrak bagi hasil, kemudian bagaimana aliran dana, bahkan sampai besaran dana baik CSR, PI, sampai DBH pada setiap tahunnya dari eksploitasi minyak dan gas bumi di Kabupaten Sumenep.
Bahkan lanjutnya, dijelaskan dalam Kepmen No. 214/K/82/MEM/2020 bahwa “Rencana penetapan daerah penghasil dan dasar penghitungan dana bagi hasil sumber daya alam gas bumi untuk tahun 2021, daerah Kabupaten Sumenep berjumlah 2.240,28 Ribu MMBTU/Million british thermal unit.
“Dengan jumlah yang tidak sedikit ini seharusnya dapat menunjang kesejahteraan masyarakat Kabupaten Sumenep. Yang juga kembali dipertegas dalam Permen ESDM No. 37 Tahun 2016 pasal 1 poin 3 bahwa kontrak kerja sama adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Yang berarti dana yang mengalir dari hasil minyak dan gas bumi di Kabupaten Sumenep sudah seharusnya menjadi penunjang kesejahteraan masyarakat Kabupaten Sumenep,” jelasnya.
Dikatakan, Kepala Bagian Perekonomian Kabupaten Sumenep dalam audiensi ini berjanji untuk mengkaji terkait urgensitas keberadaan hukum yang perlu diformulasikan untuk mengikat penyelenggaraan migas di Kabupaten Sumenep.
“Kami akan terus memantau dan mengawal terkait migas ini agar kebermanfaatan pada Kabupaten Sumenep sebagai penunjang kesejahteraan Kabupaten Sumenep,” ujarnya.